Minggu, 14 Agustus 2011

cerpen Alice dan Aluna

Ini adalah cerpen karanganku sendiri. semoga kalian semua terhibur.


ALICE DAN ALUNA

Terdengar sayup-sayup kokok ayam jago, pertanda hari telah pagi. Siulan burung-burung menggema menghiasi pagi yang cerah ini, secerah wajah mentari yang selalu hadir menyapa penduduk di muka bumi ini. Cahaya sang surya menyilaukan mataku,memaksaku untuk bangun dari mimpi indah.

 “ Luna sudah siang, cepat bangun!” terdengar suara Ibu yang memangil-manggilku.
“ Jam berapa sih?” tanganku mencari-cari handphone yang tadi malam ku letakkan di atas meja belajar.
 “OMG, udah jam 6 bisa telat nih,” akupun segera bergegas menuju kamar mandi. Sementara itu di ruang makan, nampak Alice, Ridwan, Ana, dan Ayah.
“Dimana Luna? kok belum kelihatan,” tanya Ayah sambil mencari sosokku yang biasanya setiap pagi sudah membuat keributan.
“Paling-paling masih tidur, maklum dia kan kebo,” ketus Alice
 “Alice nggak boleh bilang kayak gitu!” suara Ibu membuat Alice tersedak
“Luna kan adikmu, sebagai kakak kamu nggak boleh bilang kayak gitu!” Ibu menasihati Alice. Entah berapa ratus nasihat yang sudah Ibu berikan kepada Alice, namun tetap saja Alice tidak berubah.
 “ Ayah, Ibu, Luna berangkat dulu, ayo Ridwan kita berangkat!” suaraku membuat kaget semua orang yang sedang berada di ruang makan, akupun segera menuju halaman rumah dan mengambil sepeda motorku,.
“Kenapa kakak nggak ikut sarapan?” Tanya ridwan polos
 “Kakak males lihat mukanya Alice yang sok alim itu,” jawabku ketus
 “Kak Alice kan sudah jadi kakak kita,” timpal Ridwan
 “Eh Ridwan, najis hukumnya ngakuin dia kakakku. Sudah ayo naik! keburu siang nih,” aku segera melajukan motorku menuju sekolah Ridwan terlebih dahulu, setelah itu baru menuju sekolahku. Tepat bel berbunyi, aku tiba di sekolah.
”Untung belum telat,” aku mengelus dada, dan segera bergegas menuju ke kelas. Jam terakhir pada hari itu adalah pelajaran biologi. Namun, berhubung guru biologiku ada urusan mendadak kelas menjadi kosong pelajaran.
 “Nin, ke kantin yuk!” pintaku
 “Ngapain? Sekarang yang jadi guru pengawas adalah bu Nanik, lo pengen mati?” Nindy menolak ajakanku mentah-mentah.
“Kalau kena razia gue yang tanggung jawab, gimana?” ucapku.
 “Ummmm, oke! Aku pegang omonganmu,” tanpa banyak alasan lagi Nindy mengikutiku menuju kantin sekolah yang letaknya berada di belakang kelas kami. Sesampainya di kantin kami mendapati kakak dan adik kelas yang kebetulan pada waktu itu di kelas mereka jamnya kosong. Belum sempat kami memesan makanan maupun minuman terdengar suara teriakan salah seorang kakak kelas,
“Bu Nanik kesini, cabut!” seru salah seorang kakak kelas. Permainan petak umpet antara guru dan muridpun dimulai. Tampaknya nasib mujur berpihak kepada kami. Kami bebas dari bu nanik dengan taktik meloloskan diri yang baik.
 “yeah,” seruku penuh kemenangan. Bel pulang telah berbunyi aku bergegas menuju tempat parker. Dan bergegas menjemput Ridwan. Sesampainya dirumah,
 “Darimana saja kamu?” tanya Alice dingin
 “Emang penting ya untuk kamu ketahui?” tanyaku.
“Anterin aku ke toko buku sekarang!” perintah Alice kasar.
“ Emang aku babumu? Yang seenaknya bisa kamu suruh?” tanyaku emosi.
 “Berangkat saja sendiri!” aku mendorong tubuh Alice,
 “Mana kuncinya?” tanya Alice. Namun, belum sempat keluar dari halaman rumah Alice terjatuh. Kejadian itu sontak membuatku tertawa terbahak-bahak,
“Sukurin, makanya jadi orang jangan nyolot,” ucapku sambil tertawa.
“Ada apa ini?” tanya  Ayah yang tiba-tiba datang.
 “Itu yah dik Luna nggak mau nganterin Alice ke toko buku. Jadi Alice berangkat sendiri tapi malah jatuh,” ucap Alice dengan mengeluarkan air mata buayanya.
 “Luna! Kamu tahu kan kalau Alice gak bias naik sepeda motor?” tanya Ayah,
 “Tapi yah,” ucapku yang mencoba membela diri,
“Sudah, sekarang kamu antar kakakmu ke toko buku!” perintah Ayah.
 “Iya Ayah,” ucapku dengan tertunduk lesu.
“Sukurin” ucap Alice lirih, aku segera mengambil sepeda motor dan mengantarkan Alice ke toko buku. Siang hari yang panas berganti malam hari yang dingin. Di ruang keluarga tampak Alice yang sedang menonton TV.
 “Bu, Alice buatkan teh anget dong!” perintah Alice.
“Nggak usah dibuatkan bu, biyar dia bikin sendiri,” kataku yang mencoba  mencegah Ibu untuk menuruti Alice.
“Resek banget lo jadi orang” ucap Alice sambil  menunjukku,
“Heh lo kan masih sehat, kenapa gak bikin sendiri?” tanyaku sinis
“Jadi kamu sekarang sudah berani sama aku?” tanya Alice
“Kalau iya kenapa?” ucapku .
“Sudah-sudah jangan bertengkar, nggak enak didengar sama tetangga sebelah” ucap Ibu yang mencoba melerai kami.
“Ingat urusan kita belum selesai,” lanjutku. Aku segera bergegas menuju ke kamar. Sesampainya di kamar aku membuka jendela kamar.
            “Malam ini bintangya banyak sekali,” ucapku lirih sambil melihat langit malam yang indah.
 “Heh Luna aku pinjam sepatumu buat jalan sehat besok,” ucap Alice yang membuyarkan lamunanku.
 “Ambil saja di rak sepatu” sahutku. Setelah itu Alice keluar dari kamarku . Malam semakin larut dan aku harus segera tidur agar besok bisa bangun pagi. Pagipun telah datang, di halaman sekolah para warga sekolah sudah nampak berkumpul termasuk aku.
“Anak-anak apa kalian sudah siap untuk jalan sehat?” tanya  pak Marvin,
 “Sudah pak,” jawab para murid serentak,
 “Kalau sudah siap, mari kita berangkat!” ucap pak Marvin. Kamipun berangkat meninggalkan sekolah, ditengah-tengah perjalanan Nindy menghampiriku,
“Kamu gak haus?” tanya Nindy,
 “Nggak, biasa aja,” jawabku.
 “Hai babu,“ ucap Alice yang  membuatku kaget.
 “Heh Alice, jaga omonganmu!” ucap Nindy yang mulai emosi,
“Up’s, ada temennya yang marah nih, hiiii atuut,”ledek  Alice,
“Eh babu, mendingan lo bawa temen lo satu ini pergi dari hadapan gue!” lanjut Alice. “Plak” aku menampar Alice keras.
“Jaga omongan lo,” ucapku.  Aku segera menarik tangan Nindy dan meninggalkan Alice bersama kawan-kawannya.
            Di rumah, Alice mengadu yang tidak-tidak kepada Ayah,
“Ayah, Luna tadi menamparku di muka umum,” rengek Alice,
 “Benarkah itu?” Ayah tidak percaya,
“Benar, ini lihat wajah Alice lebam,” kata Alice sambil menunjuk pipinya.
“sudah kelewatan anak ini,” Ayah beranjak dari tempat duduknya dan mencariku. Sementara itu, aku yang sedang membantu Ibu memasak di dapur terkejut sa’at Ayah datang marah-marah.
 “Luna, kamu sudah kelewatan!” Ayah menamparku sangat keras hingga aku tersungkur ke lantai.
”Luna salah apa yah?” ucapku yang mencoba bangkit dari lantai.
 “Kamu sudah di beri hati malah minta jantung,” ucap Ayah sambil menamparku sekali lagi.
“Tampar terus yah! dia sudah membuat Alice malu,” Alice mengompori Ayah.
“Oh jadi gara-gara Alice Ayah menamparku?” tanyaku,
“Diam kamu!” ucap Ayah sambil menamparku sekali lagi,
“Ternyata memang benar ya kata pepatah, kalau anak tiri hidupnya selalu salah,” ucapku yang mulai menangis tersedu-sedu,
“Cukup om!” ucap Nindy yang  membuat kami kaget,
 “Ada urusan apa kamu ikut campur masalah kami?” Tanya Ayah.
 “Tenang dulu om! om kan bisa menjelaskan duduk perkaranya dengan baik-baik,” ucap Nindy
 “Dia sudah menampar kakaknya Alice di muka umum, itu sudah kelewatan, sekarang kamu minggir!” bentak Ayah.
 “Luna menampar Alice karena Luna membela saya, Alice sudah mengati saya yang tidak-tidak. Jadi Luna menampar Alice,” kata Nindy.
“Benarkah itu?” tanya ayah yang tampak keheranan. Setelah itu Nindy menjelaskan semua kejadian yang terjadi tadi siang.
“Alice! Kamu sudah keterlaluan,”bentak ayah
“Tapi yah,” ucap Alice yang mencoba membela diri
“Ayah nggak mau tahu, besok kamu akan ayah pindah ke pesantren, agar kamu diajari sopan santun,” ucap Ayah ketus
“Ayah jahat!” kata Alice sambil berlari menuju kamarnya
“Luna ma’afin ayah ya,”kata ayah sambil menghampiriku dan memelukku hangat.
“Dan buat dik Nindy, terima kasih ya,” ucap ayah.
“Iya om, sama-sama” jawab Nindy dengan tersenyum.
“Tuhan terima kasih Kau telah membuat ayahku tersadar bahwa selama ini yang dianggapnya benar ternyata salah.” Ucapku lirih. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar